Monday, July 16, 2018

01.PANCASILA SEBAGAI SISTEM ETIKA indonesia|by heri kurniawan


MAKALAH PANCASILA SEBAGAI SISTEM ETIKA


Dosen Pengampu:
AKHMAD MUNIF MUBAROK

Nama kelompok 5:
       Mohammad Syaikhul Kamal        170210302030
        Akhbar Rikzan Kahfa Pratama         170210302044
        Aida Tety Trapsila                            170210302046
Della Eka Kelviani                  170210302056
Bias Baghaskara                     170210302057
Heri Kurniawan                       170210401017
Ely Bella Pratiwi                     170810101059
Humaida Salaeh                      170810201284 

UNIVERSITAS JEMBER
2018



KATA PENGANTAR

Segala puji hanya milik Allah Swt. Sholawat dan salam selalu tercurahkan kepada Rasulullah SAW. Berkat limpahan rahmat-nya penulis mampu menyusun dan menyelesaikan makalah ini guna memenuhi tugas mata kuliah Pancasila.
Dan harapan kami semoga makalah ini dapat memenuhi pengetahuan dan pengalaman bagi para pembaca, untuk kedepannya dapat memperbaiki bentuk maupun menambah isi makalah agar menjadi lebih baik.
Karena keterbatasan pengetahuan maupun pengalaman penulis, penulis masih banyak kekurangan dalam makalah ini. Oleh karena itu, kami sangat mengharapkan kritik dan saran yang membangun dari pembaca demi kesempurnaan makalah ini.









Jember, 13 April 2018



Penulis







DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR......................................................................................ii
DAFTAR ISI............................................................................................................iii
BAB I PENDAHULUAN..........................................................................................1
            1.1       LATAR BELAKANG........................................................................1
            1.2       RUMUSAN MASALAH................................................................... 2
            1.3       TUJUAN PENULIS............................................................................2
BAB II PEMBAHASAN...........................................................................................3-9
            2.1       PANCASILA SEBAGAI SISTEM  ETIKA
            2.2       PEMAHAMAN KONSEP DAN TEORI  ETIKA
            2.3       ESENSI DAN URGENSI PANCASILA SEBAGAI SISTEM  ETIKA
            2.4       MENGGALI SUMBER HISTORIS, SOSIOLOGIS, POLITIS TENTANG    PANCASILA SEBAGAI SISTEM  ETIKA
            2.5       DINAMIKA PANCASILA SEBAGAI SISTEM  ETIKA
BAB III PENUTUP
KESIMPULAN.........................................................................................................10
SARAN.....................................................................................................................10
DAFTAR  PUSTAKA..............................................................................................11 



BAB I PENDAHULUAN

I.                        LATAR BELAKANG

Sesuai dengan penggagas awal, Ir Soekarno, Pancasila diusulkan sebagai dasar negara dari Negara Kesatuan Republik Indonesia. Sila-sila yang terkandung dalam Pancasila terumuskan dalam Pembukaan UUD 1945 yaitu Ketuhanan Yang Maha Esa, Kemanusiaan yang adil dan beradab, Persatuan Indonesia, dan Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam Permusyawaratan/Perwakilan serta untuk mewujudkan Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.

Para founding fathers menghendaki Pancasila dijadikan dasar pengelolaan kehidupan bermasyarakat, ber-bangsa dan bernegara untuk mewujudkan masyarakat yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur.

Pancasila secara sistematik disampaikan pertama kali oleh Ir. Soekarno di depan Sidang Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) pada tanggal 1 Juni 1945. Oleh Bung Karno dinyatakan bahwa Pancasila merupakan philosofische grondslag, suatu pundamen, filsafat, pikiran yang sedalam-dalamnya, merupakan landasan atau dasar bagi negara merdeka yang akan didirikan. Selanjutnya dikemukakan pula bahwa Pancasila di samping berfungsi sebagai landasan bagi kokoh-tegaknya negara-bangsa, juga berfungsi sebagai bintang pemandu atau Leitstar, sebagai ideologi nasional, sebagai pandangan hidup bangsa, sebagai perekat atau pemersatu bangsa dan sebagai wawasan pokok bangsa Indonesia dalam mencapai cita-cita nasional.

Begitu penting kedudukan Pancasila bagi bangsa Indonesia dalam hidup bermasyarakat, berbangsa dan bernegara, sehingga gagasan dasar yang berisi konsep, prinsip dan nilai yang terkandung dalam Pancasila harus berisi kebenaran yang tidak disangsikan. Dengan demikian rakyat rela untuk menerima, meyakini dan menerapkan dalam kehidupan yang nyata; untuk selanjutnya dijaga kokoh dan kuatnya gagasan dasar tersebut agar mampu mengantisipasi perkembangan zaman.
Untuk menjaga, memelihara, memperkokoh dan mensosialisasikan Pancasila maka para penyelenggara negara dan seluruh warganegara wajib memahami, meyakini dan melaksanakan kebenaran nilai-nilai Pancasila dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.

II.                        RUMUSAN MASALAH
a.       Apa maksud dari Pancasila sebagai Sistem Etika?
b.      Bagaimana pemahaman konsep dan teori etika?
c.       Pentingnya Pancasila sebai Sistem Etika itu apa?

III.                        TUJUAN PENULIS
a.       Untuk memenuhi tugas mata kuliah pancasila sebagai  pengganti UTS yang diberikan oleh dosen pembimbing.
b.      Untuk memahami lebih dalam tentang Pancasila sebagai Sistem Etika
c.       Untuk memberikan informasi kepada pembaca mengenai Pancasila sebagai Sistem Etika


BAB II PEMBAHASAN


2.1       Pancasila sebagai Sistem Etika
Etika berasal dari bahasa Yunani kuno. Kata Yunani ethos dalam bentuk tunggal mempunyai banyak arti, antara lain tempat tinggal yang biasa, padang rumput, kandang, kebiasaan, adat, akhlak, watak, perasaan, sikap, cara berpikir. Dalam bentuk jamak (ta etha) artinya adalah adat kebiasaan. Etika adalah ilmu tentang apa yang bisa dilakukan atau ilmu tentang adat kebiasaan .
Kata yang cukup dekat dengan etika adalah moral. Moral berasal dari kata latin mos yang berarti kebiasaan, adat. Etimologi kata etika sama dengan etimologi kata moral karena keduanya berasal dari kata yang berarti adat kebiasaan. Hanya saja bahasa asalnya yang berbeda.
Dalam kamus besar bahasa Indonesia kata etika dijelaskan dengan membedakan 3 arti yaitu :
       a. ilmu tentang apa yang baik dan apa yang buruk dan tentang hak dan kewajiban moral (akhlak)
       b. kumpulan asas  atau nilai yang berkenaan dengan akhlak
       c. nilai mengenai benar dan salah yang dianut suatu golongan atau masyarakat
Kata etika bisa dipakai dalam arti nilai-nilai dan norma-norma moral yang menjadi pegangan bagi seseorang atau suatu kelompok dalam mengatur tingkah lakunya. kemudian etika juga berarti kumpulan asas atau kode etik.
Etika termasuk filsafat dan dikenal sebagai salah satu cabang filsafat yang paling tua. Sebagai filsafat, etika bukan  merupakan suatu ilmu empiris, sedangkan yang diaksud dengan ilmu adalah ilmu empiris yang artinya ilmu yang didasarkan pada fakta dan dalam pembicaraannya tidak pernah melepaska diri dari fakta.
Ilmu-ilmu itu bersifat empiris karena seluruhnya berlangsung dalam rangka empiri (pengalaman inderawi), yaitu apa yang dilihat, didengar, dicium dan sebagainya. Ilmu empiris berasal dari observasi terhadap fakta-fakta dan jika berhasil merumuskan hukum-hukum ilmiah, maka kebenaran hukum-hukum itu harus diuji lagi dengan berbalik kepada fakta-fakta.
Dalam etika selalu berlaku cara berpikir non empiris artinya dengan tidak membatasi diri pada pengalaman inderawi, yang konkret, pada yang faktual dilakukan, tapi ia bertanya tentang yang harus dilakukan atau tidak boleh dilakukan , tentang yang baik dan buruk untuk dilakukan. Etika membatasi diri dengan segi normatif atau evaluatif.
Setiap masyarakat mengenal nilai-nilai dan norma-norma etis. Dalam masyarakat yang homogen dan agak tertutup , masyarakat tradisional, nilai-nilai dan norma-norma itu praktis tidak pernah dipersoalkan. Dalam keadaan tersebut secara otomatis orang akan menerima nilai dan norma yang berlaku. Individu dalam masyarakat itu tidak berpikir lebih jauh. Nilai dan norma masyarakat tradisional umumnya tinggal implisit saja, setiap saat menjadi eksplisit bila ada perkembangan baru terhadap norma yang berlaku di masyarakat tersebut.
            Dalam melakukan kehidupan bermasyarakat, seseorang harus mengetahui dan memahami norma-norma dan kewajiban yang harus dipatuhi dan dilaksanakan agar membentengi seseorang tidak melakukan tindakan yang merugikan diri sendiri maupun orang lain. Dan hal tersebut, terdapat dalam pancasila yang mengandung sila-sila tentang kesatuan dan keadilan. Karena, pancasila memgang peranan dan perwujudan dalam sistem etika yang baik untuk semua warga negara. Kapanpun dan dimanapun kita berada kita harus tetap beretika dalam bertingkah laku, karena jika seseorang bertingkah laku baik maka orang lain akan menilai baik juga. Sila-sila dalam pancasila mempunyai tujuan dan makna tersendiri tetapi sila tersebut merupakan kesatuan yang sistematik.
2.2       Pemahaman Konsep dan Teori Etika
Ø  Dari asal usul kata, etika berasal dari bahasa Yunani “ethos” yang berarti adat istiadat/kebiasaan yang baik. Perkembangan etika yaitu study tentang kebiasaan manusia berdasarkan kesepakatan menurut ruang dan waktu yang berbeda yang menggambarkan perangai manusia dalam kehidupan pada umumnya. Dan etika mempunyai arti yang berbeda dilihat dari sudut pandang pengguna yang berbeda dari istilah itu.
Ø  Bagi ahli falsafah, etika adalah ilmu atau kajian formal tentang moralitas.
Ø  Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, etika adalah nilai mengenai benar dan salah yang dianut suatu golongan atau masyarakat.
Ø  Menurut Maryani Ludigdo (2001), etika adalah seperangkat nilai atau norma atau pedoman yang mengatur perilaku manusia, baik yang haru dilakukan maupun ditinggalkan yang dianut oleh sekelompok atau segolongan masyarakat atau profesi.
Dalam mengkaji masalah, etika terdiri dari 2 teori :
a.       Teori Konsekuensialis
Kelompok teori yang konsekuensialis yang menilai baik buruknya perilaku mausia atau benar tidaknya sebagai manusia berdasarkan konsekuensi atau akibatnya. Yakni dilihat dari apakah perbuatan atau tindakan itu secara keseluruhan membawa akibat baik lebih banyak daripada akibat buruknya atau sebaliknya. Teori ini mendasarkan diri atas suatu keyakinan bahwa hidup manusia secara kodrati mengarah pada suatu tujuan. Yang termasuk kedalam kelompok konsekuensalis dan teleologis adalah teoori egoisme, eudaimonisme, dan utilarisme. Sesuai dari kata konsekuen yaitu etika tersebut sesuai dengan apa yang dikatakannya dan diperbuatnya.
b.      Teori Non Konsekuensialis
Teori ini menilai baik buruknya perbuatan atau benar salahnya tindakan tanpa melihat konsekuensi atau akibatnya, melainkan dengan hokum atau standar moral. Teori ini juga disebut dengan etika deontologist karena menekankan konsep kewajiban moral yang wajib ditaati manusia.

2.3       Esensi dan Urgensi Pancasila Sebagai Sistem Etika
1.  Esensi Pancasila sebagai Sistem Etika

Hakikat Pancasila sebagai sistem etika terletak pada hal-hal sebagai berikut.
Pertama,hakikat sila ketuhanan terletak pada keyakinan bangsa Indonesia bahwa Tuhan sebagai penjamin prinsip-prinsip moral. Artinya,setiap perilaku warga negara harus didasarkan atas nilai-nilai moral yang bersumber pada norma agama. Setiap prinsip moral yang berlandaskan pada norma agama, maka prinsip tersebut memiliki kekuatan (force) untuk dilaksanakan oleh pengikut-pengikutnya.
Kedua,hakikat sila kemanusiaan terletak pada actus humanus, yaitu tindakan manusia yang mengandung implikasi dan konsekuensi moral yang dibedakan dengan actus homini, yaitu tindakan manusia yang biasa. Tindakan kemanusiaan yang mengandung implikasi moral diungkapkan dengan cara dan
sikap yang adil dan beradabsehingga menjamin tata pergaulan antarmanusia dan antarmakhluk yang bersendikan nilai-nilai kemanusiaan yang tertinggi, yaitu kebajikan dan kearifan
Ketiga,hakikat sila persatuan terletak pada kesediaan untuk hidup bersama sebagai warga bangsa yang mementingkan masalah bangsa di atas kepentingan individu atau kelompok. Sistem etika yang berlandaskan pada semangat kebersamaan, solidaritas sosialakan melahirkankekuatan untuk menghadapi penetrasi nilai yang bersifat memecah belah bangsa.
Keempat,hakikat sila kerakyatan terletak pada prinsip musyawarah untuk mufakat. Artinya,menghargai diri sendiri sama halnya dengan menghargai orang lain.

5
Kelima, hakikat sila keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia merupakan perwudan dari sistem etika yang tidak menekankan pada kewajiban semata (deontologis) atau menekankan pada tujuan belaka (teleologis), tetapi lebih menonjolkan keutamaan (Virtue ethics) yang terkandung dalam nilai keadilan itu sendiri.

2. Urgensi Pancasila sebagai Sistem Etika

Hal-hal penting yang sangat urgen bagi pengembangan pancasila sebagai sistem etika meliputi hal-hal sebagai berikut. Pertama,meletakkan sila-sila pancasila sebagai sistem etika berarti menempatkan pancasila sebagai sumber moral dan inspirasi bagi penentu sikap, tindakan,dan keputusan yang diambil setiap warga negara. Kedua,pancasila sebagai sistem etika memberi guidance bagi setiap warga negara sehingga memiliki orientasi yang jelas dalam tata pergaulan baik lokal, nasional, regional, maupuninternasional. Ketiga,pancasila sebagai sistem etika dapat menjadi dasar analisis bagi berbagai kebijakan yang dibuat oleh penyelenggara negara sehingga tidak keluar dari semangat negara kebangsaan yang berjiwa pancasilais. Keempat,pancasila sebagai sistem etika dapat menjadi filter untuk menyaring pluralitas nilai yang berkembang dalam kehidupan masyarakat sebagai dampak globalisasi yang memengaruhi pemikiran warga negara.

v  Alasan DiperlukannyaPancasila Sebagai Sistem Etika
Anda perlu mengetahui bahwa pancasila sebagai sistem etika tidaklah muncul begitu saja. Pancasila sebagai sistem etika diperlukan dalam kehidupan politik untuk mengatur sistem penyelenggaraan negara. Anda dapatbayangkan apabila dalam penyelenggaraan kehidupan bernegara tidak ada sistem etika yang menjadi guidanceatau tuntunan bagi para penyelenggara negara, niscaya negara akan hancur. Beberapa alasan mengapa pancasila sebagai sistem etika itu diperlukan dalam penyelenggaraan kehidupan bernegara di Indonesia,meliputi hal-hal sebagai berikut. Pertama,korupsi akan bersimaharajalelakarena para penyelenggara negara tidak memiliki rambu-rambu normatif dalam menjalankan tugasnya.Para penyelenggara negara tidak dapatmembedakan batasanyang boleh dantidak, pantas dantidak, baik dan buruk (good and bad). Pancasila sebagai sistem etika terkait dengan pemahaman atas kriteria baik (good)dan buruk (bad). Archie Bahmdalam Axiology of Science, menjelaskan bahwa baik dan buruk merupakan dua hal yang terpisah. Namun,baik dan burukitu eksis dalam kehidupan manusia, maksudnya godaan untuk melakukan perbuatan buruk selalu muncul. Ketika seseorang menjadi pejabat dan mempunyai peluang untuk melakukan tindakan buruk (korupsi), maka hal tersebut dapat terjadi pada siapa saja. Oleh karena itu,simpulan Archie Bahm, ”Maksimalkan kebaikan, minimalkan keburukan” (Bahm, 1998: 58). 
Kedua,dekadensi moral yang melanda kehidupan masyarakat, terutama generasi mudasehingga membahayakan kelangsungan hidup bernegara. Generasi muda yang tidak mendapat pendidikan karakter yang memadai dihadapkan pada pluralitas nilai yang melanda Indonesia sebagai akibat globalisasisehingga mereka kehilangan arah. Dekadensi moral itu
terjadi ketika pengaruh globalisasitidak sejalan dengan nilai-nilai pancasila, tetapi justru nilai-nilai dari luar berlaku dominan. Contoh-contoh dekadensi moral,antara lainpenyalahgunaan narkoba, kebebasan tanpa batas, rendahnya rasa hormat kepada orang tua, menipisnya rasa kejujuran, tawuran di kalangan para pelajar. Kesemuanya itu menunjukkan lemahnya tatanan nilai moral dalam kehidupan bangsa Indonesia. Oleh karena itu,pancasila sebagai sistemetika diperlukan kehadirannya sejak dini, terutama dalam bentuk pendidikan karakter di sekolah-sekolah.

6
2.4       Sumber Historis, Sosiologis, Politis tentang Pancasila sebagai Sistem Etika
1)      Sumber historis
Pada zaman Orde Lama, Pancasila sebagai sistem etika masih berbentuk sebagai Philosofische Grondslag atau Weltanschauung. Artinya, nilai-nilai Pancasila belum ditegaskan ke dalam sistem etika, tetapi nilai-nilai moral telah terdapat pandangan hidup masyarakat. Masyarakat dalam masa orde lama telah mengenal nilai-nilai kemandirian bangsa yang oleh Presiden Soekarno disebut dengan istilah berdikari (berdiri di atas kaki sendiri). Pada zaman Orde Baru, Pancasila sebagai sistem etika disosialisasikan melalui penataran P-4 dan diinstitusionalkan dalam wadah BP-7. Ada banyak butir Pancasila yang dijabarkan dari kelima sila Pancasila sebagai hasil temuan dari para peneliti BP-7. Untuk memudahkan pemahaman tentang butir-butir sila Pancasila dapat dilihat pada tabel berikut (Soeprapto, 1993: 53--55).
Pada era reformasi, Pancasila sebagai sistem etika tenggelam dalam hirukpikuk perebutan kekuasaan yang menjurus kepada pelanggaraan etika politik. Salah satu bentuk pelanggaran etika politik adalah abuse of power, baik oleh penyelenggara negara di legislatif, eksekutif, maupun yudikatif. Penyalahgunaan kekuasaan atau kewenangan inilah yang menciptakan korupsi di berbagai kalangan penyelenggara negara.
2)      Sumber Sosiologis
Sumber sosiologis Pancasila sebagai sistem etika dapat ditemukan dalam kehidupan masyarakat berbagai etnik di Indonesia. Misalnya, orang Minangkabau dalam hal bermusyawarah memakai prinsip “bulat air oleh pembuluh, bulat kata oleh mufakat”. Masih banyak lagi mutiara kearifan lokal yang bertebaran di bumi Indonesia ini sehingga memerlukan penelitian yang mendalam.
3)      Sumber Politis
Sumber politis Pancasila sebagai sistem etika terdapat dalam norma-norma dasar (Grundnorm) sebagai sumber penyusunan berbagai peraturan perundangan-undangan di Indonesia. Pancasila sebagai sistem etika merupakan norma tertinggi (Grundnorm) yang sifatnya abstrak, sedangkan perundang-undangan merupakan norma yang ada di bawahnya bersifat konkrit.
7
Etika politik mengatur masalah perilaku politikus, berhubungan juga dengan praktik institusi sosial, hukum, komunitas, struktur-struktur sosial, politik, ekonomi. Etika politik memiliki 3 dimensi, yaitu tujuan, sarana, dan aksi politik itu sendiri. Dimensi tujuan terumuskan dalam upaya mencapai kesejahteraan masyarakat dan hidup damai yang didasarkan pada kebebasan dan keadilan. Dimensi sarana memungkinkan pencapaian tujuan yang meliputi sistem dan prinsip-prinsip dasar pengorganisasian praktik penyelenggaraan negara dan yang mendasari institusi-institusi sosial. Dimensi aksi politik berkaitan dengan pelaku pemegang peran sebagai pihak yang menentukan rasionalitas politik. Rasionalitas politik terdiri atas rasionalitas tindakan dan keutamaan. Tindakan politik dinamakan rasional bila pelaku mempunyai orientasi situasi dan paham permasalahan (Haryatmoko, 2003: 25 – 28).

2.5 Dinamika Pancasila Sebagai Sistem Etika
Beberapa argumen tentang dinamika pancasila sebagai sistem etika dalam penyelenggaraan pemerintahan di Indonesia dapat diuraikan sebagai berikut. Pertama,pada zaman Orde Lama,pemilu diselenggarakan dengan semangat demokrasi yang diikuti banyak partai politik, tetapidimenangkan empat partai politik, yaitu Partai Nasional Indonesia (PNI), Partai Muslimin Indonesia (PARMUSI), Partai Nahdhatul Ulama (PNU), dan Partai Komunis Indonesia (PKI). Tidak dapat dikatakan bahwa pemerintahan di zaman Orde Lama mengikuti sistem etika pancasila, bahkan ada tudingan dari pihak Orde Baru bahwa pemilihan umum pada zaman Orde Lama dianggap terlalu liberalkarena pemerintahan Soekarno menganut sistem demokrasi terpimpin, yang cenderung otoriter.
Kedua,pada zaman Orde Baru sistem etika pancasila diletakkan dalam bentuk penataran P-4. Pada zaman Orde Baru itu pula muncul konsep manusia Indonesia seutuhnya sebagai cerminan manusia yang berperilaku dan berakhlak mulia sesuai dengan nilai-nilai pancasila. Manusia Indonesia seutuhnya dalam pandangan Orde Baru,artinya manusia sebagai makhluk ciptaan Tuhan Yang Maha Esa, yang secara kodrati bersifat monodualistik, yaitu makhluk rohani sekaligus makhluk jasmani, dan makhluk individu sekaligus makhluk sosial. Manusia sebagai makhluk pribadi memiliki emosi yang memiliki pengertian, kasih sayang, harga diri, pengakuan, dan tanggapan emosional dari manusia lain dalam kebersamaan hidup. Manusia sebagai mahluk sosial,memiliki tuntutan kebutuhan yang makin maju dan sejahtera. Tuntutan tersebut hanya dapat terpenuhi melalui kerjasama dengan orang lain, baik langsung maupun tidak langsung. Oleh karena itulah,sifat kodrat manusia sebagai mahluk individu dan sosial harus dikembangkan secara selaras, serasi, dan seimbang (Martodihardjo, 1993: 171).
Manusia Indonesia seutuhnya (adalah makhluk mono-pluralis yang terdiri atassusunan kodrat: jiwa dan raga; Kedudukan kodrat: makhluk Tuhan dan makhluk berdiri sendiri; sifat kodrat: makhluk sosial dan mahluk individual. Keenam unsur manusia tersebut saling melengkapi satu sama lain dan merupakan satu kesatuan yang bulat. Manusia Indonesia menjadi pusat persoalan, pokok dan pelaku utama dalam budaya pancasila. (Notonagoro dalamAsdi, 2003: 17-18).
8
Ketiga,sistem etika pancasila pada era reformasi tenggelam dalam eforia demokrasi.Namun seiring dengan perjalanan waktu, disadari bahwa demokrasi tanpa dilandasi sistem etika politik akan menjurus pada penyalahgunaan kekuasaan, serta machiavelisme (menghalalkan segala cara untuk mencapi tujuan). Sofian Effendi, Rektor Universitas Gadjah Mada dalam sambutan pembukaan Simposium Nasional Pengembangan Pancasila sebagai Paradigma Ilmu Pengetahuan dan Pembangunan Nasional (2006: xiv) mengatakan sebagai berikut.“Bahwa moral bangsa semakin hari semakin merosot dan semakin hanyut dalam arus konsumerisme, hedonisme, eksklusivisme, dan ketamakan karena bangsa Indonesia tidak mengembangkan
 BAB III PENUTUP

KESIMPULAN
Etika berasal dari bahasa Yunani kuno. Kata Yunani ethos dalam bentuk tunggal mempunyai banyak arti, antara lain tempat tinggal yang biasa, padang rumput, kandang, kebiasaan, adat, akhlak, watak, perasaan, sikap, cara berpikir.
Pancasila sebagai sistem etika terkait dengan pemahaman atas kriteria baik (good)dan buruk (bad). Archie Bahmdalam Axiology of Science, menjelaskan bahwa baik dan buruk merupakan dua hal yang terpisah. Namun,baik dan burukitu eksis dalam kehidupan manusia, maksudnya godaan untuk melakukan perbuatan buruk selalu muncul. Ketika seseorang menjadi pejabat dan mempunyai peluang untuk melakukan tindakan buruk (korupsi), maka hal tersebut dapat terjadi pada siapa saja. Oleh karena itu,simpulan Archie Bahm, ”Maksimalkan kebaikan, minimalkan keburukan” (Bahm, 1998: 58). 

Dari materi di atas dapat disimpulkan, . Etika adalah ilmu tentang apa yang bisa dilakukan atau ilmu tentang adat kebiasaan . Sehingga jika seseorang ingin memiliki etika yang baik harus dibiasakan untuk selalu melakukan kebiasaan yang baik sebab etika dapat terbentuk melalui kebiasaan yang sering dilakukan seseorang. Jadi, jika seseorang selalu melakukan kebiasaan yang baik maka akan ragu untuk melakukan kegitan yang dapat merugikan diri sendiri maupun orang lain. Dan pancasila sendiri merupakan pemegang peranan dan perwujudan dalam sistem etika yang baik untuk semua warga negara.

SARAN
Penulis hanya lah seorang warga atau rakyat biasa. Saran yang diberikan pun hanya berupa saran sederhana sesuai pola pikir rakyat kecil. Di antara saran penulis antara lain:
1.      Hendaknya setiap warga negara lebih memahami makna yang terkandung di dalam Pancasila.
2    Pancasila harus senantiasa diaktualisasikan dalam kehidupan berbangsa danbernegara di Indonesia sehingga ciri kekeluargaan dan gotong royong senantiasa dapat terwujud dalam kehidupan di Indonesia.



10

DAFTAR PUSTAKA

Sekneg RI., Risalah Sidang BPUPKI – PPKI, 28 Mei 1945 – 22 Agustus 1945..

PANCASILA DALAM ARUS SEJARAH BANGSA INDONESIA




PANCASILA DALAM ARUS SEJARAH BANGSA INDONESIA

MAKALAH

Diajukan untuk Memenuhi Tugas Pengganti Ujian Tengah Semester Mata Kuliah Pendidikan Pancasila




Dosen Pengampu :
Akhmad Munif Mubarok, S.Sos., M.Si
OLEH :
Erdha Kogarta Dendi Purnama          111910101092
Gerry Gardika Surya Dinata               151910101100
Ratih Amelia                                       160910101003
Savira Lukmana                                  160910101007
Fauziah Al Hibryah                             160910101011
Vira Vita Verina                                 160910101019
UNIVERSITAS JEMBER
2018

















BAB I



Sejak zaman dahulu, wilayah-wilayah di nusantara ini mempunyai beberapa nilai yang dipegang teguh oleh masyarakatnya, sebagai contoh Percaya kepada Tuhan dan toleran, Gotong royong, Musyawarah, Solidaritas atau kesetiakawanan sosial dan sebagainya. Nilai-nilai Pancasila berdasarkan teori kausalitas yang diperkenalkan Notonagoro (kausa materialis, kausa formalis, kausa efisien, kausa finalis), merupakan penyebab lahirnya negara. Munculnya permasalahan yang mendera Indonesia, memperlihatkan telah tergerusnya nilai-nilai Pancasila dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.
Problematika yang terjadi di Indonesia seperti tindak korupsi, terorisme bahkan dewasa ini, fenomena materialisme, pragmatisme, dan hedonisme makin menggejala dalam kehidupan bermasyarakat. Paham-paham tersebut mengikis moralitas dan akhlak masyarakat, khususnya generasi muda. Fenomena dekadensi moral tersebut terekspresikan dan tersosialisasikan lewat tayangan berbagai media massa. Urgensi pendidikan Pancasila di perguruan tinggi, yaitu agar mahasiswa tidak tercerabut dari akar budayanya sendiri dan agar mahasiswa memiliki pedoman atau kaidah penuntun dalam berpikir dan bertindak dalam kehidupan sehari-hari dengan berlandaskan nilai-nilai Pancasila. Mahasiswa sebagai pemegang tongkat estafet kepemimpinan agar tidak mudah  terpengaruh oleh paham asing yang negatif. Serta, agar mahasiswa memiliki pedoman atau kaidah penuntun dalam berpikir dan bertindak dalam kehidupan sehari-hari dengan berlandaskan nilai-nilai Pancasila
Berpijak dari latar belakang diatas, maka penulis mengemukakan rumusan masalah sebagai berikut:

1.      Bagaimana konsep dan urgensi pancasila dalam arus sejarah Bangsa Indonesia ?

2.      Apa alasan diperlukannya Pancasila dalam kajian sejarah Bangsa Indonesia ?

3.      Apa sumber historis, sosiologis, politis tentang Pancasila dalam kajian sejarah Bangsa Indonesia ?

4.      Bagaimana argumen tentang dinamika dan tantangan Pancasila dalam kajian sejarah Bangsa Indonesia ?

5.      Bagaimana deskripsi esensi dan urgensi Pancasila dalam kajian sejarah Bangsa Indonesia untuk masa depan ?
Berdasarkan rumusan masalah diatas, adapun tujuan dari makalah adalah :

1.      Untuk mengetahui konsep dan urgensi pancasila dalam arus sejarah Bangsa Indonesia.

2.      Untuk mengetahui alasan diperlukannya Pancasila dalam kajian sejarah Bangsa Indonesia.

3.      Untuk mengetahui sumber historis, sosiologis, politis tentang Pancasila dalam kajian sejarah Bangsa Indonesia.

4.      Untuk mengetahui argumen tentang dinamika dan tantangan Pancasila dalam kajian sejarah Bangsa Indonesia.

5.      Untuk mengetahui deskripsi esensi dan urgensi Pancasila dalam kajian sejarah Bangsa Indonesia untuk masa depan.



2.1.1          Periode Pengusulan Pancasila

Cikal bakal munculnya ideologi bangsa itu diawali dengan lahirnya rasa nasionalisme yang menjadi pembuka ke pintu gerbang kemerdekaan bangsa Indonesia. Ahli sejarah, Sartono Kartodirdjo, sebagaimana yang dikutip oleh Mochtar Pabottinggi dalam artikelnya yang berjudul Pancasila sebagai Modal Rasionalitas Politik, menengarai bahwa benih nasionalisme sudah mulai tertanam kuat dalam gerakan Perhimpoenan Indonesia yang sangat menekankan solidaritas dan kesatuan bangsa. Perhimpoenan  Indonesia menghimbau agar segenap suku bangsa bersatu teguh menghadapi penjajahan dan keterjajahan. Kemudian, disusul lahirnya Soempah Pemoeda 28 Oktober 1928 merupakan momen momen perumusan diri bagi bangsa Indonesia.

Hal tersebut merupakan modal politik awal yang sudah dimiliki tokoh-tokoh pergerakan sehingga sidang-sidang maraton BPUPKI yang difasilitasi Laksamana Maeda, tidak sedikitpun ada intervensi dari pihak penjajah Jepang. Para peserta sidang BPUPKI ditunjuk secara adil, bukan hanya atas dasar konstituensi, melainkan juga atas dasar integritas dan rekam jejak di dalam konstituensi masingmasing. Oleh karena itu, Pabottinggi menegaskan bahwa diktum John Stuart Mill atas Cass R. Sunstein tentang keniscayaan mengumpulkan the best minds atau the best character yang dimiliki suatu bangsa, terutama di saat bangsa tersebut hendak membicarakan masalah-masalah kenegaraan tertinggi, sudah terpenuhi.
Dengan demikian, Pancasila tidaklah sakti dalam pengertian mitologis, melainkan sakti dalam pengertian berhasil memenuhi keabsahan prosedural dan keabsahan esensial sekaligus. (Pabottinggi, 2006: 158-159). Selanjutnya, sidang-sidang BPUPKI berlangsung secara bertahap dan penuh dengan semangat musyawarah untuk melengkapi goresan sejarah bangsa Indonesia hingga sampai kepada masa sekarang ini.
Perumusan Pancasila itu pada awalnya dilakukan dalam sidang BPUPKI pertama yang dilaksanakan pada 29 Mei sampai dengan 1 Juni 1945. BPUPKI dibentuk oleh Pemerintah Pendudukan Jepang pada 29 April 1945 dengan jumlah anggota 60 orang. Badan ini diketuai oleh dr. Rajiman Wedyodiningrat yang didampingi oleh dua orang Ketua Muda (Wakil Ketua), yaitu Raden Panji Suroso dan Ichibangase (orang Jepang). BPUPKI dilantik oleh Letjen Kumakichi Harada, panglima tentara ke-16 Jepang di Jakarta, pada 28 Mei 1945. Sehari setelah dilantik, 29 Mei 1945, dimulailah sidang yang pertama dengan materi pokok pembicaraan calon dasar negara.
Menurut catatan sejarah, diketahui bahwa sidang tersebut menampilkan beberapa pembicara, yaitu Mr. Muh Yamin, Ir. Soekarno, Ki Bagus Hadikusumo, Mr. Soepomo. Keempat tokoh tersebut menyampaikan usulan tentang dasar negara menurut pandangannya masing-masing. Meskipun demikian perbedaan pendapat di antara mereka tidak mengurangi semangat persatuan dan kesatuan demi mewujudkan Indonesia merdeka. Sikap toleransi yang berkembang di kalangan para pendiri negara seperti inilah yang seharusnya perlu diwariskan kepada generasi selanjutnya.
Salah seorang pengusul calon dasar negara dalam sidang BPUPKI adalah Ir. Soekarno yang berpidato pada 1 Juni 1945. Pada hari itu, Ir. Soekarno menyampaikan lima butir gagasan tentang dasar negara, diantaranya adalah Nasionalisme atau Kebangsaan Indonesia, Internasionalisme atau Peri Kemanusiaan, Mufakat atau Demokrasi, Kesejahteraan Sosial, dan Ketuhanan yang berkebudayaan. Berdasarkan catatan sejarah, kelima butir gagasan itu oleh Soekarno diberi nama Pancasila. Selanjutnya, Soekarno juga mengusulkan jika seandainya peserta sidang tidak menyukai angka 5, maka ia menawarkan angka 3, yaitu Trisila yang terdiri atas Sosio-Nasionalisme, Sosio-Demokrasi, dan Ketuhanan Yang Maha Esa. Soekarno akhirnya juga menawarkan angka 1, yaitu Ekasila yang berisi asas Gotong-Royong.



2.1.2          Periode Perumusan Pancasila


Perumusan pancasila dimulai dalam sidang BPUPKI kedua pada 10 – 16 Juli 1945 adalah disetujuinya naskah awal “Pembukaan Hukum Dasar” yang kemudian dikenal dengan nama Piagam Jakarta. Piagam Jakarta itu merupakan naskah awal pernyataan kemerdekaan Indonesia. Pada alinea keempat Piagam Jakarta itulah terdapat rumusan Pancasila diantaranya adalah Ketuhanan, dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya. Kedua, Kemanusiaan yang adil dan beradab. Ketiga, Persatuan Indonesia. Keempat, Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan dan kelima keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.

Naskah awal “Pembukaan Hukum Dasar” yang dijuluki “Piagam Jakarta” ini kemudian dijadikan “Pembukaan” UUD 1945, dengan sejumlah perubahan di sana-sini. Peristiwa itu ditandai dengan jatuhnya bom atom di kota Hiroshima pada 6 Agustus 1945. Sehari setelah peristiwa itu, 7 Agustus 1945, Pemerintah Pendudukan Jepang di Jakarta mengeluarkan maklumat yang berisi pertengahan Agustus 1945 akan dibentuk Panitia Persiapan Kemerdekaan bagi Indonesia (PPKI), panitia itu rencananya akan dilantik 18 Agustus 1945 dan mulai bersidang 19 Agustus 1945, direncanakan 24 Agustus 1945 Indonesia dimerdekakan.

Pada tanggal 8 Agustus 1945, Sukarno, Hatta, dan Rajiman dipanggil Jenderal Terauchi (Penguasa Militer Jepang di Kawasan Asia Tenggara) yang berkedudukan di Saigon, Vietnam (sekarang kota itu bernama Ho Chi Minh). Ketiga tokoh tersebut diberi kewenangan oleh Terauchi untuk segera membentuk suatu Panitia Persiapan Kemerdekaan bagi Indonesia sesuai dengan maklumat Pemerintah Jepang 7 Agustus 1945 tadi. Sepulang dari Saigon, ketiga tokoh tadi membentuk PPKI dengan total anggota 21 orang, yaitu: Soekarno, Moh. Hatta, Radjiman, Ki Bagus Hadikusumo, Otto Iskandar Dinata, Purboyo, Suryohamijoyo, Sutarjo, Supomo, Abdul Kadir, Yap Cwan Bing, Muh. Amir, Abdul Abbas, Ratulangi, Andi Pangerang, Latuharhary, I Gde Puja, Hamidan, Panji Suroso, Wahid Hasyim, T. Moh. Hasan (Sartono Kartodirdjo, dkk., 1975: 16–17).
Jatuhnya Bom di Hiroshima belum membuat Jepang takluk, Amerika dan sekutu akhirnya menjatuhkan bom lagi di Nagasaki pada 9 Agustus 1945 yang meluluh lantahkan kota tersebut sehingga menjadikan kekuatan Jepang semakin lemah. Kekuatan yang semakin melemah, memaksa Jepang akhirnya menyerah tanpa syarat kepada sekutu pada 14 Agustus 1945. Konsekuensi dari menyerahnya Jepang kepada sekutu, menjadikan daerah bekas pendudukan Jepang beralih kepada wilayah perwalian sekutu, termasuk Indonesia. Sebelum tentara sekutu dapat menjangkau wilayah-wilayah itu, untuk sementara bala tentara Jepang masih ditugasi sebagai sekadar penjaga kekosongan kekuasaan.
Kekosongan kekuasaan ini tidak disia-siakan oleh para tokoh nasional. PPKI yang semula dibentuk Jepang karena Jepang sudah kalah dan tidak berkuasa lagi, maka para pemimpin nasional pada waktu itu segera mengambil keputusan politis yang penting. Keputusan politis penting itu berupa melepaskan diri dari bayang-bayang kekuasaan Jepang dan mempercepat rencana kemerdekaan bangsa Indonesia.

2.1.3          Periode Pengesahan Pancasila
Pada 12 Agustus 1945, ketika itu Soekarno, Hatta, dan Rajiman Wedyodiningrat dipanggil oleh penguasa militer Jepang di Asia Selatan ke Saigon untuk membahas tentang hari kemerdekaan Indonesia sebagaimana yang pernah dijanjikan. Namun, di luar dugaan ternyata pada 14 Agustus 1945 Jepang menyerah kepada Sekutu tanpa syarat. Pada 15 Agustus 1945 Soekarno, Hatta, dan Rajiman kembali ke Indonesia. Kedatangan mereka disambut oleh para pemuda yang mendesak agar kemerdekaan bangsa Indonesia diproklamasikan secepatnya karena mereka tanggap terhadap perubahan situasi politik dunia pada masa itu. Para pemuda sudah mengetahui bahwa Jepang menyerah kepada sekutu sehingga Jepang tidak memiliki kekuasaan secara politis di wilayah pendudukan, termasuk Indonesia.
Perubahan situasi yang cepat itu menimbulkan kesalahpahaman antara kelompok pemuda dengan Soekarno dan kawan-kawan sehingga terjadilah penculikan atas diri Soekarno dan M. Hatta ke Rengas Dengklok (dalam istilah pemuda pada waktu itu “mengamankan”), tindakan pemuda itu berdasarkan keputusan rapat yang diadakan pada pukul 24.00 WIB menjelang 16 Agustus 1945 di Cikini no. 71 Jakarta (Kartodirdjo, dkk., 1975: 26). Melalui jalan berliku, akhirnya dicetuskanlah Proklamasi Kemerdekaan Indonesia pada 17 Agustus 1945. Teks kemerdekaan itu didiktekan oleh Moh. Hatta dan ditulis oleh Soekarno pada dini hari. Dengan demikian, naskah bersejarah teks proklamasi Kemerdekaan Indonesia ini digagas dan ditulis oleh dua tokoh proklamator tersebut sehingga wajar jika mereka dinamakan Dwitunggal. Selanjutnya, naskah tersebut diketik oleh Sayuti Melik. Rancangan pernyataan kemerdekaan yang telah dipersiapkan oleh BPUPKI yang diberi nama Piagam Jakarta, akhirnya tidak dibacakan pada 17 Agustus 1945 karena situasi politik yang berubah.
Pada 18 Agustus 1945, PPKI bersidang untuk menentukan dan menegaskan posisi bangsa Indonesia dari semula bangsa terjajah menjadi bangsa yang merdeka. PPKI yang semula merupakan badan buatan pemerintah Jepang, sejak saat itu dianggap mandiri sebagai badan nasional. Atas prakarsa Soekarno, anggota PPKI ditambah 6 orang lagi, dengan maksud agar lebih mewakili seluruh komponen bangsa Indonesia. Mereka adalah Wiranatakusumah, Ki Hajar Dewantara, Kasman Singodimejo, Sayuti Melik, Iwa Koesoema Soemantri, dan Ahmad Subarjo.
Indonesia sebagai bangsa yang merdeka memerlukan perangkat dan kelengkapan kehidupan bernegara, seperti Dasar Negara, Undang-Undang Dasar, Pemimpin negara, dan perangkat pendukung lainnya. Sejarah bangsa Indonesia juga mencatat bahwa rumusan Pancasila yang disahkan PPKI ternyata berbeda dengan rumusan Pancasila yang termaktub dalam Piagam Jakarta. Hal ini terjadi karena adanya tuntutan dari wakil yang mengatasnamakan masyarakat Indonesia Bagian Timur yang menemui Bung Hatta yang mempertanyakan 7 kata di belakang kata “Ketuhanan”, yaitu “dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya”. Tuntutan ini ditanggapi secara arif oleh para pendiri negara sehingga terjadi perubahan yang disepakati, yaitu dihapusnya 7 kata yang dianggap menjadi hambatan di kemudian hari dan diganti dengan istilah “Yang Maha Esa”.

Identitas Nasional adalah pandangan hidup bangsa, kepribadian bangsa, filsafat pancasila dan juga sebagai Ideologi Negara sehingga mempunyai kedudukan paling tinggi dalam tatanan kehidupan berbangsa dan bernegara termasuk disini adalah tatanan hukum yang berlaku di Indonesia.



2.2.1          Pancasila Sebagai Identitas Bangsa Indonesia


Setiap bangsa mana pun di dunia ini pasti memiliki identitas yang sesuai dengan latar belakang budaya masing-masing. Budaya merupakan proses cipta, rasa, dan karsa yang perlu dikelola dan dikembangkan secara terus-menerus. Budaya dapat membentuk identitas suatu bangsa melalui proses inkulturasi dan akulturasi. Pancasila sebagai identitas bangsa Indonesia merupakan konsekuensi dari proses inkulturasi dan akulturasi tersebut.

Adapun Pancasila sebagai identitas nasional Indonesia diantaranya adalah Bahasa Nasional atau Bahasa Persatuan yaitu Bahasa Indonesia, Bendera negara yaitu Sang Merah Putih, Lagu Kebangsaan yaitu Indonesia Raya, Lambang Negara yaitu Pancasila, Semboyan Negara yaitu Bhinneka Tunggal Ika, Dasar Falsafah negara yaitu Pancasila dan Konstitusi (Hukum Dasar) negara yaitu UUD 1945. Sedangkan, Unsur-unsur pembentuk identitas adalah Suku bangsa, Agama, Kebudayaan dan Bahasa.






2.2.2          Pancasila Sebagai Kepribadian Bangsa Indonesia


Perwujudan dari nilai-nilai budaya bangsa Indonesia sendiri yang diyakini kebaikan dan kebenarannya, Sebelum ditetapkannya Pancasila sebagai dasar yang sah, Indonesia memang sudah sejak dahulu menganut nilai-nilai budaya luhur yang telah tercipta di tengah-tengah masyarakat nenek moyang Indonesia.

     Pancasila digali dari budaya bangsa Indonesia sendiri yang sudah ada, tumbuh, dan berkembang berabad-abad lamanya. Pancasila merangkum nilai-nilai yang sama yang terkandung dalam adat-istiadat, kebudayaan, dan agama-agama yang ada di Indonesia


2.2.3           Pancasila Sebagai Pandangan Hidup Bangsa Indonesia

Sebagai pandangan hidup bangsa, Pancasila berfungsi sebagai pedoman atau petunjuk dalam kehidupan sehari-hari. Ini berarti, Pancasila sebagai pandangan hidup merupakan petunjuk arah semua kegiatan atau aktivitas hidup dan kehidupan di segala bidang. Pancasila sebagai pandangan hidup bangsa merupakan nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat Indonesia. Sebagai pandangan hidup bangsa, Pancasila selalu dijunjung tinggi oleh setiap warga masyarakat, karena pandangan hidup Pancasila berakar pada budaya dan pandangan hidup masyarakat Indonesia.

2.2.4          Pancasila Sebagai Jiwa Bangsa

Pancasila sebagai jiwa bangsa lahir bersamaan dengan lahirnya bangsa Indonesia. Pancasila tela ada sejak dahulu kala bersamaan dengan adanya bangsa Indonesia (Bakry, 14: 157). Pancasila sebaagai jiwa bangsa maksudnya pancasila sebagai nyawa, pandangan hidup, ideologi bangsa, bahkan ciri khusus bangsa Indonesia yang mana Pancasila didapat seiring dengan perjalanan bangsa Indonesia, sehingga dapat membedakan mana ciri khas bangsa Indonesia dengan ciri khas negara lain.  Pancasila sebagai jiwa bangsa berarti setiap kegiatan, perbuatan, tindakan, serta pemikiran semua individu di Indonesia berdasarkan dan berpedoman kepada Pancasila.
2.2.5          Pancasila Sebagai Perjanjian Luhur

Perjanjian luhur maksudnya adalah nilai-nilai Pancasila sebagai jiwa bangsa dan kepribadian bangsa disepakati oleh pendiri negara (political consensus) sebagai dasar negara Indonesia (Bakry, 1994: 161). Pancasila merupakan keputusan akhir bangsa Indonesia. Perjanjian  luhur itu telah dilakukan pada 18 Agustus 1945, pada saat PPKI (Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia) telah menerima Pancasila dan  menetapkan dasar negara secara konstituonal dalam pembukaan UUD 1945. Pancasila disepakati oleh seluruh rakyat Indonesia sebagai milik bangsa yang harus diamalkan serta dilestarikan.

2.3.1          Sumber Historis Pancasila

Pancasila melalui proses yang panjang dalam pembuatannya. Nilai-nilai yang terkandung dalam setiap sila Pancasila sebelum dirumuskan dan disahkan menjadi dasar negara Indonesia secara obyektif historis telah dimiliki oleh bangsa Indonesia sendiri. Sehingga asal nilai-nilai Pancasila tersebut tidak lain adalah dari bangsa Indonesia sendiri, atau bangsa Indonesia sebagai kausa materialis Pancasila.

Secara historis, sejak zaman kerajaan unsur Pancasila sudah muncul dalam kehidupan bangsa kita. Agar nilai-nilai Pancasila selalu melekat dalam kehidupan bangsa Indonesia, maka . nilai-nilai yang terkandung dalam setiap Pancasila tersebut kemudian dirumuskan dan disahkan menjadi dasar Negara. Sebagai sebuah dasar Negara, Pancasila harus selalu dijadikan acuan dalam bertingkah laku dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.Semua peraturan perundang-undangan yang ada juga tidak boleh bertentangan dengan nilai-nilai Pancasila.

2.3.2          Sumber Sosiologis Pancasila
Nilai-nilai kenegaraan dan kemasyarakatan yang terkandung dalam sila-sila Pancasila bukan hanya hasil konseptual seseorang saja, melainkan juga hasil karya besar bangsa Indonesia sendiri, yang diangkat dari nilai-nilai kultural yang dimiliki oleh bangsa Indonesia sendiri melalui proses refleksi filosofis para pendiri negara (Kaelan, 2000: 13).  Bung Karno menegaskan bahwa nilai-nilai Pancasila digali dari bumi pertiwi Indonesia. Dengan kata lain, nilai-nilai Pancasila berasal dari kehidupan sosiologis masyarakat Indonesia.

Pancasila sebagai ideologi negara berakar dalam kehidupan masyarakat. Unsur-unsur 
sosiologis yang membentuk Pancasila sebagai ideologi negara meliputi hal-hal sebagai berikut: 

a.      Sila Ketuhanan Yang Maha Esa dapat ditemukan dalam kehidupan beragama masyarakat Indonesia dalam berbagai bentuk kepercayaan dan keyakinan terhadap adanya kekuatan gaib.
b.     Sila Kemanusiaan Yang Adil dan Beradab  dapat  ditemukan dalam hal saling menghargai dan menghormati hak-hak orang lain, tidak bersikap sewenang-wenang.

c.      Sila Persatuan Indonesia yang dapat ditemukan dalam bentuk solidaritas, rasa setia kawan, rasa cinta tanah air yang berwujud pada mencintai produk dalam negeri.

d.     Sila Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan/Perwakilan dapat ditemukan dalam bentuk menghargai pendapat orang lain, semangat musyawarah dalam mengambil keputusan.

e.      Sila Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia tercermin  dalam sikap suka menolong, menjalankan gaya hidup sederhana, tidak menyolok atau berlebihan.



2.3.3          Sumber Politis Pancasila


Pancasila dalam tataran tertentu merupakan ideologi politik, yaitu mengandung nilai-nilai yang menjadi kaidah penuntun dalam mewujudkan tata tertib sosial politik yang ideal. Hal tersebut sejalan dengan pendapat Budiardjo (1998:32) sebagai berikut: “Ideologi politik adalah himpunan nilai-nilai, idée, norma-norma, kepercayaan dan keyakinan, suatu “Weltanschauung”, yang dimiliki seseorang atau sekelompok orang, atas dasar mana dia menentukan sikapnya terhadap kejadian dan problema politik yang dihadapinya dan yang menentukan tingkah laku politiknya.”

Dengan memahami pancasila, diharapkan mampu termotivasi berpartisipasi memberikan masukan konstruktif, baik kepada infrastruktur politik maupun suprastruktur politik. Nilai-nilai Pancasila mutlak harus dimiliki oleh setiap penguasa yang berkuasa mengatur pemerintahan, agar tidak menyebabkan berbagai penyimpangan seperti yang sering terjadi dewasa ini.

Dalam penerapan etika politik Pancasila di Indonesia tentunya mempunyai beberapa kendala-kendala, yaitu :

a.      Etika politik terjebak menjadi sebuah ideologi sendiri. Ketika seseorang mengkritik sebuah ideologi, ia pasti akan mencari kelemahan-kelemahan dan kekurangannya, baik secara konseptual maupun praksis. Hingga muncul sebuah keyakinan bahwa etika politik menjadi satu-satunya cara yang efektif dan efisien dalam mengkritik ideologi, sehingga etika politik menjadi sebuah ideologi tersendiri.


b.     Pancasila merupakan sebuah sistem filsafat yang lebih lengkap disbanding etika politik Pancasila, sehingga kritik apa pun yang ditujukan kepada Pancasila oleh etika politik Pancasila tidak mungkin berangkat dari Pancasila sendiri karena kritik itu tidak akan membuahkan apa-apa.

Namun demikian, bukan berarti etika politik Pancasila tidak mampu menjadi alat atau cara menelaah sebuah Pancasila. Kendala pertama dapat diatasi dengan cara membuka lebar-lebar pintu etika politik Pancasila terhadap kritik dan koreksi dari manapun, sehingga ia tidak terjebak pada lingkaran itu. Kendala kedua dapat diatasi dengan menunjukkan kritik kepada tingkatan praksis Pancasila terlebih dahulu, kemudian secara bertahap merunut kepada pemahaman yang lebih umum hingga ontologi Pancasila menggunakan prinsip-prinsip norma moral.



2.4.1          Argumen tentang Dinamika Pancasila dalam Sejarah Bangsa


Bisa dikatakan bahwa generasi wajib bela negara jatuh pada zaman orde baru Tekad pemerintahan yang dibawah kendali Presiden Suharto adalah melaksanakan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 secara murni dan konsekuen . Pada era Orde Baru, salah satu upaya konkrit Pemerintah dalam rangka penanaman nilai-nilai Pancasila, adalah melalui penataran Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (P4). Tujuannya antara lain adalah membentuk pemahaman yang sama mengenai demokrasi Pancasila sehingga dengan pemahaman yang sama diharapkan persatuan dan kesatuan nasional akan terbentuk dan terpelihara.

Orde Lama, dimana konsep Nasionalis, Agama, dan Komunis (NASAKOM) menempatkan ideologi komunis menjadi dominan, sehingga nilai-nilai Pancasila justru menjadi kabur. Sisi baiknya adalah dengan adanya penanaman nilai-nilai pancasila maka telah menciptakan keteraturan dan keseragaman. Semua organisasi politik, organisasi kemasyarakatan, organisasi keagamaan dan organisasi kemahasiswaan berasaskan pancasila.

Tetapi pada sisi yang lain, keteraturan, ketenangan dan kedamaian oleh sebagian kalangan dianggap sebagai gejala yang nampak dipermukaan saja, sebagai bentuk ketakutan atas politik represif rezim Orde Baru. Pancasila dipahami secara tektual saja, tetapi tidak dipahami secara kontekstual. Redaksi Pancasila beserta butir-butirnya dihafal tetapi tidak dipraktekkan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Maka dari itu sangat penting menyamakan persepsi hidup bernegara. Masuk pada masa reformasi, Pancasila dijadikan sebagai hegemoni politik oleh penguasa. Yang membuat warga wajib mematuhi setiap kebijakan yang dikeluarkan penguasa, dan dianggap bertentangan dengan Pancasila bila warga menolaknya.



2.4.2          Argumen tentang Tantangan terhadap Pancasila dalam Kehidupan Berbangsa dan Bernegara


Salah satu tantangan terhadap Pancasila dalam kehidupan berbangsa dan bernegara adalah meletakkan nilai-nilai Pancasila tidak dalam posisi sebenarnya sehingga nilai-nilai Pancasila menyimpang dari kenyataan hidup berbangsa dan bernegara. Indonesia saat ini menghadapi tantangan di era globalisasi. Proses globalisasi yang terjadi telah menggerogoti Pancasila melalui teknologi dan gaya hidup sehingga memengaruhi dinamika kehidupan masyarakat Indonesia. Adanya proses liberalisasi yang telah masuk ke Indonesia membuat banyak nilai yang tidak sesuai dengan pancasila lagi.

Sistem politik yang berkembang saat ini sangat gandrung dengan faham liberalisme dan semakin menjauh dari sistem politik berdasarkan Pancasila yang seharusnya dibangun dan diwujudkan rakyat dan bangsaIndonesia.Terlihat jelas betapa demokrasi diartikan sebagai kebebasantanpa batas. Hak asasi manusia diartikan dengan keliru dan  diterjemahkan dengan boleh berbuat semaunya dan tak peduli apakah merugikan atau mengganggu hak orang lain. Dalam kondisi seperti itu Pancasila sebagai pandangan hidup dan dasar negara memegang peranan penting. Pancasila akan menilai nilai-nilai mana saja yang bisa diserap untuk disesuaikan dengan nilai-nilai Pancasila itu sendiri. Dengan begitu, nilai-nilai baru berkembang nantinya akan tetap berada diatas kepribadian bangsa Indonesia.

2.5.1          Essensi Pancasila dalam Kajian Sejarah Bangsa
Sebagai sebuah filsafat, di dalam Pancasila terkandung sebuah pandangan, nilai-nilai serta suatu pemikiran yang menjadikannya inti utama dari sebuah ideologi. Pancasila sebagai sebuah filsafat merupakan cerminan sebuah pemikiran yang kristis dan rasoinal tentang kedudukan Pancasila sebagai dasar negara dan pandangan hidup bangsa secara mendasar dan menyeluruh. Filsafat Pancasila ditujukan untuk semua orang dan bukan hanya untuk bangsa Indonesia saja, sebab didalamnya terkandung konsep kehidupan secara luas dan tidak terbatas.

Dalam aspek ontologi, “keberadaan” Pancasila merupakan sesuatu hal yang nyata dan realistis. Sebab didalam Pancasila menjelaskan tentang keberadaan Tuhan serta kehidupan masyarakat Indonesia yang majemuk adalah sesuatu yang nyata (real). Seperti yang tertera pada sila pertama, “Ketuhanan yang Maha Esa”. Bahwa Pancasila secara ontologi mengakui keberadaan Tuhan yang memiliki kuasa dan sebagai pencipta alam semesta. Maka dari segi epistemologi Pancasila merupakan sebuah ilmu pengetahuan yang dapat dibuktikan dan memiliki dasar-dasar yang memiliki kekuatan hukum. Sebagaimana yang tercantum dalan 
UUD 1945.


Dilihat dari segi aksiologi, Pancasila memiliki nilai-nilai yang mendasari terciptanya sebuah hak dan kewajiban warga negara didalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara yang majemuk. Nilai-nilai tersebut merupakan cerminan dari kehidupan bangsa yang memiliki semboyan Bhinneka Tunggal Ika. Pancasila sebagai dasar negara berperan sebagai pedoman bagi bangsa Indonesia yangmenuntun kita dalam bersikap. Penerapan esensi Pancasila sebagai ideologi negara meliputihal-hal sebagai berikut:



2.5.2          Urgensi Pancasila dalam Kajian Sejarah Bangsa


Pancasila dapat memberikan arah tentang hukum harus menciptakan keadaan negara yang 
lebih baik dengan berlandaskan pada nilai-nilai ketuhanan, kemanusiaan, persatuan, kerakyatan, dan keadilan. Dengan Pancasila, perpecahan bangsa Indonesia akan mudah dihindari karena pandangan Pancasila bertumpu pada pola hidup yang berdasarkan keseimbangan, keselarasan, dan keserasian sehingga perbedaan apapun ang ada dapat dibina menjadi suatu pola kehidupan yang dinamis, penuh dengan keanekaragaman yang berada dalam satu keseragaman yang kokoh (Muzayin, 1992: 16).

Hasil Survei yang dilakukan KOMPAS yang dirilis pada 1 Juni 2008 menunjukkan bahwa pengetahuan masyarakat tentang Pancasila merosot secara tajam, yaitu 48,4% responden berusia 17 sampai 29 tahun tidak mampu menyebutkan silai-sila Pancasila secara benar dan lengkap. 42,7% salah menyebut sila-sila Pancasila, lebih parah lagi, 60% responden berusia 46 tahun ke atas salah menyebutkan sila-sila Pancasila. Fenomena tersebut sangat memprihatinkan karena menunjukkan bahwa pengetahuan tentang Pancasila yang ada dalam masyarakat tidak sebanding dengan semangat penerimaan masyarakat terhadap Pancasila (Ali, 2009: 2).


Selain data tersebut, pentingnya Pancasila dalam sejarah bangsa Indonesia dikarenakan hal-hal berikut:



a.      Pengidentikan Pancasila dengan ideologi lain

Pancasila pada awal dirumuskannya merupakan hasil dari konsensus bersama para pendiri bangsa Indonesia, yang merupakan bagian dari begitu banyak bangsa-bangsa bekas jajahan kolonial. Pancasila dijadikan sebuah ideologi perekat bagi pembentukan negara-bangsa yang kemudian kita kenal dengan Indonesia. Tujuan Pancasila pada saat itu adalah sebagai ide pemersatu dari beragam entitas yang ada. Nilai-yang terkandung didalam Pancasila, dengan unsur 5 sila yang ada tersebut adalah nilai-nilai dan cita-cita yang tidak dipaksakan dari luar, melainkan saripati digali dan diambil dari harta kekayaan rohani, moral dan budaya masyarakat Indonesia.
Kegagalan orde lama (masa demokrasi terpimpin) dalam merefleksikan pancasila adalah pada arena pergulatan ideologi dunia saat itu (sosialis/liberal), orde lama lebih cenderung menjadikan pancasila cenderung kearah sosialis padahal sebenarnya Pancasila adalah ideologi yang berada diatas ideologi-ideologi tersebut. Hal ini kemudian mengakibatkan Pancasila kehilangan tujuan utama sebagai pemersatu dan sebagai nilai dasar bangsa.



b.     Penyalahgunaan Pancasila sebagai alat justifikasi kekuasaan rezim tertentu

Pada masa Orde Baru, Pancasila diberikan tafsiran yang sangat simplistik dan hanya dijadikan sebagai alat kekuasaan serta justifikasi politik penguasa dan pembangunan ekonomi yang bercirikan kronisme dan KKN (korupsi, kolusi dan nepotisme). Pancasila sebenarnya merupakan ideologi yang menekankan pembangunan Human base centre yang meliputi faktor social, budaya, politik yang bersifat holistik dan komprehensif dan tidak dapat dipisah-pisahkan. Dengan proses indoktrinasi yang dilakukan oleh pemerintahan Orde Baru melalui pelaksanaan P4 (Pedoman Penghayatan Dan Pengamalan Pancasila) yang digunakan hanya sebagai control terhadap masyarakat untuk mengamankan kekuasaan, berlanjut dengan pelaksanaan asas tunggal pada era 80-an bagi seluruh organisasi politik. Hal ini sangat jauh bertentangan dengan sifat Pancasila sebagai Ideologi yang terbuka yang bersifat dinamis (tanpa kehilangan nilai-nilainya) dan menghargai serta melindungi kemajemukan (Bhineka Tunggal Ika).



c.      Melemahnya pemahaman dan pelaksanaan nilai Pancasila dalam kehidupan berbangsa dan bernegara

Pancasila sebagai dasar negara atau ideologi negara terlahir dan telah membudaya di dalam sejarah perjalanan bangsa Indonesia. Nilai-nilai Pancasila seyogyanya sudahlah dapat tertanam dalam hati, tercermin dalam sikap dan perilaku masyarakat Indonesia. Pada kenyataannya, nilai-nilai Pancasila masih belum dapat dipahami dan diamalkan dalam kehidupan sehari-hari. Masih lemahnya keteladanan terhadap nilai-nilai Pancasila menimbulkan tumbuhnya gerakan-gerakan sparatisme dan primordialisme. Hal ini tentu akan mengakibatkan disintegrasi bangsa. Perlunya kesadaran diri tentang apakah sudah mengimplementasikan Pancasila dalam diri kita ataukah hanya konsepnya saja yang baru dikuasai. Sehingga dapat memberi contoh kepada orang lain bagaimana mengimplementasi Pancasila dan menerapkannya dalam kehidupan sehari-hari serta tujuan negara dapat terwujud.



Pancasila sebagai falsafah bangsa Indonesia merupakan karya besar bangsa Indonesia dan merupakan lambang ideologi bangsa Indonesia yang setingkat dengan ideologi besar di dunia lainnya. Bangsa Indonesia menggunakan Pancasila sebagai pedoman hidup dalam kehidupan sehari-hari, bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Pancasila juga dijadikan pedoman dalam pelaksaan pemerintahan. Pengertian Pancasila dalam sejarah bangsa Indonesia menunjukkan bahwa Pancasila merupakan produk otentik pendiri negara Indonesia (The Founding fathers). Kedua,  nilai-nilai Pancasila bersumber dan digali dari nilai agama, kebudayaan, dan adat istiadat. Ketiga, Pancasila merupakan pandangan hidup bangsa dan dasar filsafat kenegaraan.
Pentingnya Pancasila dalam sejarah bangsa Indonesia menunjukkan bahwa Betapapun lemahnya pemerintahan suatu rezim, tetapi Pancasila tetap bertahan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Kedua, Betapapun ada upaya untuk mengganti Pancasila sebagai ideologi bangsa, tetapi terbukti Pancasila merupakan pilihan yang terbaik bagi bangsa Indonesia. Ketiga, Pancasila merupakan pilihan terbaik bagi bangsa Indonesia karena bersumber dan digali dari nilai-nilai agama, kebudayaan, dan adat istiadat yang hidup dan berkembang di bumi Indonesia.

Generasi muda merupakan generasi penerus yang eksistensinya sangat menentukan langkah kehidupan masyarakat, bangsa, dan negara Indonesia ke depan. Sebagai generasi penerus, pemuda diharapkan mampu memberikan kontribusi sesuai dengan kapasitasnya masing-masing. Peran generasi muda sangat menentukan dalam sejarah perjalanan bangsa Indonesia.  Untuk itu perlu dibangun karakter generasi muda yang sesuai dengan nilai-nilai Pancasila. Eksistensi suatu bangsa sangat ditentukan oleh karakter yang dimiliki.
Oleh karena itu, sebagai generasi penerus bangsa kita harus menjunjung tinggi pancasila serta selalu memahami dan mengamalkan nilai-nilai yang ada di Pancasila sebagai upaya perwujudan cita-cita dan tujuan nasional  untuk menciptakan Indonesia yang penuh dengan kedamaian dan keteraturan sehingga mendorong Indonesia menjadi negara yang maju baik dalam pola pikir masyarakat dan kondisi negaranya.



·         Ali, As’ad Said. 2009. Negara Pancasila Jalan Kemaslahatan Berbangsa. Jakarta: Pustaka LP3ES.

·         Bakry, Noor Ms. 2010. Pendidikan Pancasila. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

·         Budiarjo, Mariam, 1993, Dasar-Dasar Ilmu Politik, Jakarta: PT. Gramedia. Pustaka Utama.
·         Kaelan. 2000. Pendidikan Pancasila. Yogyakarta: Paradigma.
·         Muzayin. 1992. Ideologi Pancasila (Bimbingan ke Arah Penghayatan dan Pengamalan bagi Remaja). Jakarta: Golden Terayon Press.
·         Nurwardani, Paristiyanti dkk. 2016.  Buku Ajar Mata Kuliah Wajib Umum Pancasila. Jakarta: Direktorat Jenderal Pembelajaran dan Kemahasiswaan Kemenristek Dan Pendidikan Tinggi Republik Indonesia







1.3   Tujuan




x

thanks :)

01.PANCASILA SEBAGAI SISTEM ETIKA indonesia|by heri kurniawan

MAKALAH PANCASILA SEBAGAI SISTEM ETIKA Dosen Pengampu: AKHMAD MUNIF MUBAROK Nama kelompok 5:        Mohammad Syaikhul Kamal ...